Tuesday, December 4, 2012

HUKUM ACARA PERDATA

I. Pengertian Hukum Acara Perdata dan Sumber Hukum Acara Perdata
 A. Pengertian Hukum Acara Perdata
     Hukum acara perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya hukum materiil perdata. Ketentuan hukum acara perdata pada umumnya tidak membebani hak dan kewajiban seperti yang kita jumpai pada hukum materil perdata, tetapi melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum materiil perdata yang ada atau melindungi hak perseorangan.
     Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaiman caranya menjamin ditaatinya hukum perdata hukum perdata materiil dengan perantara hakim. Dengan artian lain Hukum acara perdata ialah peraturan hukum yang menentukan bagaiman cara menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih konkritnya, bahwa hukum acara perdata adalah mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannya.Tuntutan dalam hak ini tdak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah "eigenrichting" atau tindakan menghakimi sendiri.

Ada tiga pendapat mengenai "eigenrichting" atau tindakan menghakimi sendiri:
1. Van Boeval Faure, mengatkan bahwa tindakan menghakimi sendiri itu sama sekali tidak dibenarkan. Alasannya, bahwa oleh karena hukum acara telah menyediakan upaya-upaya untuk memeroleh perlindungan hukum bagi para pihak melalui pengadilan, maka tindakan-tindakan diluar upaya tersebut, yang dapat dianggap sebagai menghakimi sendiri dilarang.
2. Tindakan menghakimi sendiri pada asasny dibolehkan atau dibenarkan, dengan pengertian bahwa yang melakukannya dianggap melakukan perbuatan melawan hukum (Cleaveringa). Pada hakikatnya tindakan menghakimi sendiri disini tidak dapat dibenarkan, karena apa bila dilakukan ada akibat hukumnya, yaitu dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga terikat untuk membayar ganti kerugian.
3. Rutten mengatakan, bahwa tindakan menghakimi sendiri pada asasnya tidak dibenarkan, akan tetapi apabila peraturan yang ada tidak cukup memberi perlindungan, maka tindakan menghakimi sendiri itu secara tidak tertulis dibenarkan.

Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan: yaitu tahap pendahuluan, penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan: persiapan menuju kepada penentuan atau pelaksanaan. Tahap penentuan yaitu tahap diadakannya pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada putusaannya.

Hukum acara perdata bukannlah sekedar pelengkap saja akan tetapi memmpunyai kedudukan yang penting dalam melaksanakan atau menegakkan hukum perdata materiil. Karena tidak mungkin hukum perdata materiil berdiri sendiri lepas sama sekali dari hukum acara perdata. Dan tidak ada gunanya ada hukum perdata materiil apabila tidak dapat dilaksanakan atau direalisasi, dan untuk realisasinya itu diperlukan hkum acara perdata.   

B. Sumber Hukum Acara Perdata
 Berdasarkan pasal 5 ayat 1 UUDar. 1/1/1945, maka hukum acara perdata pada Pengadilan Negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan UUDar. tersebut menurut persturan-peraturan Republik Indonesia, yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan Negeri dalam daerah Republik Indonesia. Yang dimaksud oleh UUDar. 1/1/1945 adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui: S. 1848 no. 16, S. 1941 no. 44) untuk daeerah Jawa dan Madura, dan Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg. atau Reglemen daerah seberang: S. 1927 no 227) untuk luar Jawa dan Madura.

Tidak boleh dilupakan UU no. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan UU no. 14 tahun 1970 tenntang Kekuasaan Kehakiman yang telah mengalami perubahan dengan UU no. 35 tahun 1999. Yang meniadakan adanya dua atap. Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman, mengatur organisasi, adminitrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilaan yang berada dibawahnya hanya ada satu atap.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara perdata diantaranya  UU no. 1tahun 1974 (LN 1) tentang perkawinan dan PP no. 9 tahun 1975 (TLN 3050) tentang pelaksanaan UU no. 1 tahun 1974 yang mengatur antara lain tentang acara pemberian izin perkawinan, pencegahan perkawinan, perceraian, pembatalan perkawinan dan sebagainya.

II. Asas-asas Hukum Acara Perdata
Asas-asas Hukum Acara Perdata dapat digolongkan menjadi tujuh yakni:
1. Hakim Bersifat Menunggu
    Suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntut, maka tidak ada hakim, demikianlah bunyi pemeo yang tidak asing lagi (Wo kein klager ist, ist kein Richter; nemo judex sine actore). Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya: iudex ne producedat ex officio (lihat pasal 118 HIR, 142 Rbg). yang menyelenggarakan proses adalah negara, tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya. Meskipun ada dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas (pasal 16 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004).

2. Hakim Pasif
    Hakim di dalam memeriksa bersifat pasif berarti bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkaradan bukan oleh hakim.Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 5 ayat (2) UU no. 4 tahun 2004.

Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran tetapi dalam memeriksa perkara perdata hakim harus bersikap tut wuri. Para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya kemuka penagdilan, sedang hakim tidak dapat menghalang-halangi, sebagaimana pada pasal 130 HIR, 154 Rbg.

Pengertian pasif disini, bahawa hakim menentukan luas dari pada pokok sengketa. Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya.
    
3. Sifat Terbukanya Persidangan
   Pada asasnya persidangan bersifat terbuka untuk umum, berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan dipersidangan. Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk "social control". Kecuali apabila ditentukan lain oleh UU atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting yang dimuata dalam berita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dilakukan dengan pintu tertutup (pasal 19 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004). 

4. Mendengar Kedua Belah Pihak
   Di dalamhukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya. Berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri kedua belah pihak.
5. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan
   Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan. Alasan atau argumentasi dimaksudkan sebagai pertanggung-jawab hakim dari pada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif.

   Alasan-alasan sebagai dasar putusan, dapat kita lihat beberapa putusan M.A yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan. Seringkali dalam mempertanggung-jawabkan putusan juga dicari dukungan pada yurisprudensi dan ilmu pengetahuan. 
 
6. Beracara Dikenakan Beaya
     Pada asasnya berperkara dikenakan beaya (pasal 3 ayat (2) UU no. 4 tahun 2004, 121 ayat 4, 182, 183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg). Beaya perkara meliputi: beaya kepaniteraan dan beaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta beaya materai dan juga beaya pengacara jika dimintai bantuan.

Bagi mereka yang tidak mampu membayar beaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran beaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi. Permohonan perkara secara pro deo akan ditolak oleh Pengadilan apabila penggugat ternyata orang tidak mampu.

7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
     HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh para kuasanya kalau dikehendakinya. Berperkara dipengadilan secara langsung tanpa perantara seorang kuasa akan jauh lebih ringan beayanya dari pada menggunakan seorang kuasa, karena masih harus mengeluarkan honorarium untuknya.

Dalam berperkara dengan adanya wakil atau pembantu sangat bermanfaat. Terutama seorang wakil yang tahu akan hukumnya dan mempunyai iktikad baik, yang bisa membantu sumbangan pikiran bagi hakim dalam memecahkan persoalan-persoalan.

Rv mewajibkan para pihak mewakilkan kepada orang lain (procereur) dalam beracara dimuka pengadilan. Dan menurut RO seorang yang dapat menjadi procereur harus sarjana hukum .

DAFTAR PUSTAKA
Sudikno Mertokusumo, Prof, DR, S.H, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, edisi ke-8, 2009.

No comments:

Post a Comment